Buang air besar (BAB) sembarangan di pantai, sungai, atau daratan pada masyarakat Indonesia ternyata masih sangat memprihatinkan. Bahkan menurut data Unicef, sekitar 63 juta penduduk Indonesia masih melakukan prakter BAB di sembarang tempat. Angka ini merupakan yang tertinggi kedua di dunia setelah negara India.
“Tahun ini, kondisi Indonesia dengan praktek BAB sembarangan masih tetap nomor dua di dunia dengan jumlah sekitar 63 juta. Yang paling banyak ada di Indonesia bagian timur dari NTT sampai Papua,” kata Claire Quillet, Wash Specialist Unicef Indonesia kepada Beritasatu.com di Jakarta, Rabu (28/8).
Tidak hanya orang miskin di pedesaan, bahkan orang kaya di perkotaan juga melakukan praktek BAB sembarangan.
“Di Jakarta dan pulau Jawa ternyata juga banyak yang BAB sembarangan. Ini sebetulnya lebih kepada kebiasaan yang sulit diubah, sehingga mereka harus mengerti konsekuensi dari BAB sembarangan itu seperti apa,” tambahnya.
Dijelaskan Claire, BAB sembarangan adalah salah satu penyebab utama diare, yang menyebabkan kematian bayi hingga 88 persen. “Masalahnya adalah setelah BAB biasanya tidak cuci tangan, atau dihinggapi lalat yang akhirnya ke makanan dan menyebabkan diare. Bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga bisa meninggal karena diare,” tegasnya.
Definisi BAB sembarangan yang bisa membahayakan lingkungan dan kesehatan ini menurut Claire bukan hanya sekedar BAB di kebun, sungai atau pantai, namun juga toilet yang kotorannya masih masuk ke dalam air.
“Contohnya WC cemplung di atas sungai. Walaupun itu disebut WC, tapi kotorannya tetap saja masuk ke sungai, sementara masyarakat kita masih banyak yang memanfaatkan air sungai untuk kegiatan sehari-hari,” jelas dia.
Di Jakarta, prakter BAB sembarangan memang masih tinggi, khususnya di kawasan Jakarta Utara. “Kalau di Jakarta, sebetulnya lebih karena tidak ada lahan untuk membangun wc. Jadi mereka lebih memilih BAB di sungai karena lebih gampang daripada mencari toilet umum yang harus bayar. Bahkan toilet umum itu pun membuang kotorannya lewat pipa-pipa ke sungai, jadi sebetulnya tidak ada bedanya,” papar Claire.
Terkait dengan kondisi itu, pihak Unicef juga telah memberikan bantuan kepada pemerintah pusat hingga daerah untuk melakukan kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yaitu melakukan pendekatan untuk mengubah prilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayan masyarakat. Tujuannya tentu saja untuk mengeliminasi praktek buang air besar sembarang di Indonesia, khususnya di bagian timur seperti Papua, NTT dan Sulawesi Selatan yang terkategori sebagai tiga provinsi dengan tingkat sanitasi yang rendah.
“Program ini tidak lagi sekedar membangun wc di setiap rumah, tapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat dan mengubah prilaku mereka. Kalau dulu sekitar tahun 2003-2005, pemerintah mencoba untuk membangun wc di tempat mereka, tapi ternyata tidak dipakai. Artinya memang saat ini prilakunya yang harus diubah. Mereka harus mengerti kalau BAB sembarangan itu bisa berdampak pada banyak hal. Dengan begitu akhirnya tumbuh kesadaran sendiri dan mereka mau membangun latrine atau toilet di rumah masing-masing,” paparnya.
Program ini juga telah sukses dijalankan di Pulau Ende. Namun butuh waktu lima tahun untuk bisa menjadikan pulau di Nusa Tenggara Timur itu bebas dari praktek BAB sembarangan.
“Awalnya kita coba mencari tahu kenapa mereka tidak membangun toilet dan lebih memilih BAB di pinggir pantai. Ternyata di sana mereka kesulitan mendapatkan air bersih. Akhirnya kita bantu mereka untuk membangun bak penampungan air hujan (PAH). Dengan cara ini, persoalan air bersih di Pulau Ende sudah mulai teratasi,” jelasnya.
Kebiasaan masyarakat BAB di pinggir pantai akhirnya juga mulai hilang karena masyarakatnya sudah membangun latrine di rumah masing-masing. “Pemerintah di sana juga sangat mensupport, seperti adanya Perda dan polisi yang rutin melakukan patroli di pinggir pantai. Kalau dulu kasus diare di Pulau Ende sangat tinggi, tapi sekarang sudah mulai berkurang karena mereka tidak lagi BAB di sembarang tempat,” ujar Claire.